Articles by "Sulawesi Tengah"
Tampilkan postingan dengan label Sulawesi Tengah. Tampilkan semua postingan

(Foto : pada saat pelaksanaan Pesta Woke di Kolonodale, November 1986)

ARTI WOKE
Woke adalah salah satu upacara hadat kematian suku Mori, yaitu untuk menghormati keluarga atau pahlawan yang telah meninggal dunia.
Woke artinya “menjadi” atau “terlepas”. Mengandung arti bahwa dengan adanya pesta Woke maka perkabungan telah dilepaskan.
Woke berarti juga upacara pemindahan tulang-tulang dari TOMBEA (kubur sementara) menuju ke TASIMA (Puuwasu) yakni kubur didalam gua-gua batu.
Upacara pemindahan tulang-tulang dari Tombea ke Tasima disebut : METASU.
Woke berlaku bagi umum (Bangsawan maupun dari kalangan masyarakat biasa) asalkan mampu mengadakan pesta dengan pembiayaan yang sangat besar.
Woke dapat dilaksanakan secara perorangan dan dapat juga secara kolektif (bersama-sama).
Woke bagi bangsawan dilaksanakan dengan membunyikan TOMBORI MOKOLE, sedangkan untuk rakyat biasa dibunyikan TOMBORI MPALILI.

BANGUNAN PESTA WOKE
TOMBEA (Kubur Sementara) : apabila seseorang meninggal dunia, maka mayatnya disimpan di Tombea. Jika seorang bangsawan atau tadulako, maka ditutupi dengan atap. Jika rakyat biasa, hanya dengan Tombea terbuka. Mayat-mayat yang berada di Tombea, disimpan dalam peti mayat berukir (untuk bangsawan) yang disebut SORONGA. Sedangkan untuk rakyat biasa, peti mayatnya tidak berukir dan disebut POLEBANGKA.

PEWUA : yakni sebuah bangunan yang berukuran 2 x 2 Meter, dibuat dinding keliling dengan kait putih yang disebut KULAMBU. Bangunan ini dimaksudkan untuk tempat tulang belulang orang meninggal yang disemayamkan sesudah dikumpulkan dari TOMBEA.

SI’E : adalah sebuah bangunan berukuran 2 x 2 Meter yaitu tempat menyimpan padi. Pada bagian bawah dibuat satu tingkat yang disebut PALAMPA. Disekitar SI’E merupakan pusat kegiatan (menumbuk padi, membuat MISA, memasak winalu dan sebagainya). SI’E melambangkan kesejahteraan, berarti arwah yang akan dihentar tersebut telah dipersiapkan dengan perbekalan yang serba cukup.

DOPI (arena tarian) : yang terdiri dari beberapa lembar papan berbentuk segi panjang (ukuran 16 x 12 meter). Disinilah dipertunjukkan tarian yang disebut LENSE, WAINDO, TINGKE, dan sebagainya.

LIASA : adalah sebuah bangunan yang berukuran 2 x 3 Meter, terletak ditengah-tengah arena DOPI, digunakan sebagai tempat menabuh gong dan gendang, saling bersahut-sahutan mengiringi gerak langkah tarian LUMENSE dan CAKALELE.

TIMBARATI : yakni sebuah bangunan yang berukuran 3 x 3 Meter, tempat menambatkan sejumlah kerbau yang akan dibantai oleh Tadulako yang sedang menggendong MISA/PASARU dan diiringi tarian LUMENSE. Jumlah kerbau yang akan dibantai adalah sejumlah orang meninggal yang sedang diupacarakan. Kerbau melambangkan kekuatan.

SOLIKA : yakni sebuah bangunan berukuran 2 x 3 Meter, dibuatkan dinding dengan kain putih yang dibawahnya seperti halnya PEWUA dan SI’E. Disinilah arwah diberi makan dengan Winalu yang kecil-kecil, daging goreng dan telur ayam. Makanan ini dimaksudkan sebagai persiapan terakhir bagi arwah untuk melanjutkan perjalanan, melintasi jalan lurus “TETEMELEMBO” menuju ke negeri arwah “TONUANA”.

TASIMA/PUUWASU (Gua Batu sebagai Kubur) : yaitu tempat menyimpan pasaru-pasaru dan tulang-belulang yang telah dimasukkan dalam guci ataupun peti kayu yang disebut TOLO’EA, bersama semua harta benda orang mati yang diberikan sebagai tanda kesayangan (misalnya tombak, pedang, perhiasan, dan lain-lain).

BANTAEA: adalah sebuah bangunan besar yang dibuat untuk tempat menjamu makan bagi para tamu.


PERSONIL DALAM PESTA WOKE

ONITU : yaitu beberapa orang laki-laki berpakaian hitam sebagai penjaga kubur/Tombea pada waktu siang dan malam. Makanan mereka setiap harinya diperoleh dengan cara sembunyi-sembunyi dari rumah-rumah tetangga. Hal ini tidak dapat dicegah walaupun sering diketemukan.

TONGGOLA : adalah tokoh wanita dalam masyarakat yang selalu bertugas untuk MEPOBINI (memungut tulang-tulang orang mati) sekaligus penjaga PASARU.

WURAKE MPU’U : Wanita-wanita yang telah dewasa setelah melalui upacara WURAKE (peremajaan). Mereka ini dianggap sebagai Seniwati didalam masyarakat.

TADULAKO : Sebagai pemimpin dalam masyarakat.

ROMBONGAN LENSE DOPI : Berjumlah ± 30 orang wanita penari. Pakaian mereka berwarna-warni yang cukup menarik (merah, kuning, hitam) yang merupakan warna ciri khas Mori dan dihiasi manik-manik. Warna hitam melambangkan kedukaan. Dikepala mereka memakai PASAPU.

ROMBONGAN TENGKE DOPI : Berjumlah ± 30 orang pria dan wanita. Pria memakai baju warna biru laut dan celana warna merah yang dihiasi dengan manik-manik. Dikepala mereka memakai SANGGORI dan LAELAKU (bulu ayam jago), unte, talisi-lisi dari kain laken berwarna kuning dan berumbai-rumbai (sukalati). Dilengan mereka memakai KIMA (buso), memakai ikat pinggang dari kain berwarna kuning emas yang disebut GILI. Dikaki mereka memakai SUNGGARE (giring-giring).
Wanita memakai baju berwarna kuning, kain sarung berwarna merah yang dihiasi dengan manik-manik. Dikepala mereka memakai SIRA.

PENABUH GONG DAN GENDANG : Terdiri dari pria yang menggunakan Pakaian Hadat.


PELAKSANAAN PESTA WOKE
Setelah para Tonggola selesai mepobini dan membungkus tulang-belulang pada kain putih, mereka menuju ke PEWUA/Serambi tempat persinggahan pertama setelah satu malam. PASARU/MISA dihiasi didalam KULAMBU dan diiringi dengan membunyikan TOMBORI.

Pada siang hari, Pasaru/Misa dibawah ke SI’E dan langsung ditempatkan pada PALAMPA yang dikelilingi dengan KULAMBU. Ditempat itu dijaga oleh para Tonggola.

Setelah tanda dimulai dengan bunyi gong, diserahkanlah Pasaru/Misa kepada WURAKE MPU’U sambil diiringi bunyi PONTOMBORI secara terus menerus. Para WURAKE MPU’U yang menggendong MISA berjalan dengan didahului oleh tiga orang Tadulako momaani (cakalele) dan rombongan LENSE DOPI naik keatas DOPI sambil menari Lumense. Gendang Pontombori diganti dengan gendang LENSE PONTOMBEI (Lense Dopi).

Selesai mengelilingi dengan dua kali putaran di arena Dopi, Wurake Mpu’u menyerahkan Misa/Pasaru kepada Tadulako Metida yang sudah siap menerimanya.

Sambil momaani (cakalele) dan menggendong Misa, Tadulako metida menuju ke PETIDA/TIMBARATI. Dengan tangan kiri ia memegang/menggendong Misa, dan tangan kanan menetakkan pedangnya pada kaki-kaki kerbau yang akan dibantai.

Selesai acara metida, Tadulako metida sambil momaani (cakalele) menuju Dopi dan menyerahkan Misa tersebut kepada Wurake Mpu’u. Sambil menari, Wurake Mpu’u menggendong Misa dan membawanya ke SOLIKA untuk ditempatkan disana.

Di Solika, para Tonggola menerima kembali Pasaru/Misa dari tangan WURAKE MPU’U dan langsung mendudukkan diatas tikar, serta memberi makan dengan hidangan yang telah disiapkan diatas dulang yang terdiri dari WINALU (nasi bungkus kecil-kecil), telur ayam, minuman, daging tanpa kuah. Lampu damar dinyalakan.

Sementara itu, acara diatas DOPI dilanjutkan dengan METINGKE. Rombongan Tingke naik keatas DOPI dan mulai MOWAINDO, yang syair-syairnya merupakan percakapan antara orang yang masih hidup dengan orang mati/arwah.

Setelah MOWAINDO, dilanjutkan dengan METINGKE MEWUWUKUI, yang syairnya merupakan nasihat-nasihat agar berperilaku yang baik disepanjang hidup ini. Selain itu, sering juga muncul syair-syair sindiran yang dapat menyinggung perasaan arwah, yang menjadikan arena DOPI menjadi sangat ramai.

Selesai acara TENGKE DOPI, dilanjutkan dengan acara menghentar MISA/PASARU ke TASIMA, dan acara ini disebut Motasu. Gendang dibunyikan, para Tonggola mengangkat Misa/Pasaru, lalu menyerahkan kembali kepada para Wurake Mpu’u. Tadulaku momaani (cakalele) didepan dan diikuti tiga orang Wurake Mpu’u yang maju menjemput Misa. Sambil menggendong Misa, ketiga Wurake Mpu’u berjalan menuju DOPI yang diiringi rumbongan lense dan melakukan tari-tarian. Dua kali mengelilingi DOPO, rombongan turun dari DOPI dan menuju Tasima yang didahului Tadulako momaani didepan rombongan. 
Barisan rombongan menuju Tasima, sebagai berikut :
  • Barisan momaani (cakalele) 3 orang Tadulako
  • 3 orang Wurake Mpu’u
  • Penabuh Gong dan Gendang berada disisinya
  • 3 orang Wurake menggendong Misa/Pasar
  • Rombongan Lense disebelah kanan Misa dan rombongan Tingke disebelah kiri Misa.
  • Rombongan Umum
Sepanjang perjalanan menuju Tasima, gong dan gendang terus dibunyikan, dengan maksud agar arwah yang dihentar itu tidak lagi mengganggu orang yang masih hidup.
Sementara Tadulako momaani (cakalele), para Tonggola masuk kedalam Tasima (Gua Batu) serta meletakkan Pasaru. Tulang yang telah dibungkus rapih diletakkan disana bersama barang-barang yang akan ditinggalkan, diisi dalam guci atau peti kayu yang disebut TOLO’EA.

Setelah selesai upacara peletakan Pasaru/Misa, para Tonggola keluar dari Tasima. Didepan Tasima, Tadulako sekali lagi momaani (cakalele), kemudian semua rombongan kembali menurut barisan menuju Bantaea tadi.

Sementara dalam perjalanan, rombongan ini dicegat oleh sekelompok penghadang, dan terjadilah “METUTUMBANSOLIKA” (saling lempar-lemparan dengan batang nenas hutan). Setelah beberapa menit peristiwa itu berlangsung, maka ternyata kelompok penghadang yang menang, berarti arwah yang telah dihgentar tadi tidak akan kembali lagi.

Pada malam hari dilanjutkan dengan pesta makan minum yang begitu meriah, orang saling siram-siraman dengan tuak dan lempar-lemparan dengan daging. Acara terakhir yaitu dengan MOWOLITE DOPI (membalikkan papan) tempat menari tadi. Dengan selesainya acara MOWOLITE DOPI, berarti seluruh tata upacara Pesta Woke dinyatakan selesai dan para undangan maupun para MANTAKO (pendatang yang tidak diundang) kembali kekampung masing-masing.

Tulisan ini merupakan cuplikan budaya “UPACARA HADAT KEMATIAN di WITA MORI” yang disusun oleh Himpunan Pengembangan Kebudayaan Wita Mori (HPKWM) untuk diserahkan pada Tim Shooting Wisata Budaya, dalam rangka pengembangan Kebudayaan Nasional.

Disusun di Kolonodale pada Oktober 1986

Penyusun :
S. Sane
S.Bambari
R. Monsangi, BA
Ten Marunduh
Vonis hakim terhadap kasus Ahok yang dibacakan dalam sidang 9 Mei 2017 yang lalu, telah menarik banyak perhatian masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia dan telah menjadi topik yang paling hangat sampai saat ini. Hal ini dipicu akibat vonis Ahok yang dianggap tidak lazim dan kental unsur politis sehingga menimbulkan dampak reaksi keras seperti api yang disiram bensin yang meluas, baik dalam skala nasional dan dunia Internasional. Secara logika dan kasat mata orang awam saja sudah bisa melihat dengan jelas bahwa vonis Ahok adalah vonis yang janggal dalam dunia peradilan dimana keputusan Hakim tidak sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Hakim memvonis Ahok dengan hukuman penjara dua sementara Jaksa sebelumnya menuntut Ahok hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.

Reaksi masyarakat dinyatakan dalam berbagai bentuk, diantaranya seperti yang dilakukan masyarkat Kota Tentena kemarin malam 14 Mei 2017 dalam aksi SOLIDARITAS 1000 LILIN "TENTENA UNTUK INDONESIA DAMAI".
Kegiatan tersebut diprakarsai secara spontanitas oleh beberapa tokoh perempuan yang kemudian direspon oleh tokoh masyarakat yang ada di Kota Tentena dan sekitarnya. Selanjutnya dibentuklah panitia kecil “Tim Damai Indonesia dari Tentena”.
Aksi yang dipusatkan di Taman Kota Tentena sejak pukul 19.00 Waktu Indonesia Tengah ini, walaupun hanya disosialisasikan lewat media sosial namun yang hadir pada saat itu lebih dari 1.000 orang, baik yang berasal dari Kota Tentena maupun dari Kota Poso dan desa terdekat seperti Pandiri, Kuku, Sangira, Saojo, Sulewana, Meko, Buyumpondoli, Toinasa dan masih banyak desa lainnya.


Dalam aksi ini, massa yang hadir menyanyikan lagu-lagu kebangsaan dan memanjatkan doa-doa bersama. Dilanjutkan dengan orasi yang intinya adalah mendukung dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meminta Pemerintah untuk menegakkan supremasi hukum, menolak ketidakadilan terhadap Ahok, serta menolak aksi-aksi radikalisme.
Tokoh-tokoh masyarakat juga menyerukan bahwa siapapun yang masuk Tentena tidak boleh memecah belah persatuan bangsa. Aksi ini berlangsung aman dan terkendali dengan adanya izin serta dijaga ketat aparat keamanan dari Polres Poso dan Polsek setempat, hingga berakhir pada pukul 21.00 Waktu Indonesia Tengah.


Aksi seperti ini sebelumnya bahkan serentak dilakukan di beberapa kota dari berbagai elemen masyarakat seperti yang dikutip dari Video Youtube Aksi 1000 Lilin Ahok Gemparkan Dunia! 33 Kota dan 19 Negara.



Mulai Senin, 3 Oktober 2016 sampai dengan 5 Oktober 2016, Kantor Gubernur serta seluruh Kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Badan di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah akan mengibarkan bendera merah putih setengah tiang.
Demikian instruksi yang dikeluarkan Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, Minggu, 2 Oktober 2016.
“Instruksi ini wajib dilaksanakan untuk menghormati mangkatnya Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Sudarto,” kata Kepala Bagian Protokol Sekretariat Daerah Provinsi Sulteng, Haris Kariming.
Seperti diketahui, Wagub Sudarto wafat setelah menjalani tindakan medis di Rumah Sakit Budi Agung, Palu, Sabtu, 1 Oktober 2016 sekitar pukul 16.30 WITA. Mendiang akan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Tatura, Palu, pada Minggu, 2 Oktober 2016. Pensiunan Perwira TNI Angkatan Darat ini meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak. (JGB)
Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola atas nama Menteri Dalam Negeri melantik Anwar Hafid dan Sumisi Marunduh sebagai Bupati dan Wakil Bupati Morowali periode 2013--2018 dalam sidang paripurna DPRD Morowali dipimpin Ketuanya Abuddin Halilu di Bungku, Sabtu (25/5/2013).

Pelantikan ditandai pengucapan sumpah jabatan serta pemasangan tanda pangkat dan jabatan disaksikan oleh sekitar 3.500 undangan yang memadati ruang sidang hingga pelataran Gedung DPRD yang dijaga ketat ratusan polisi, anggota TNI, dan aparat pengamanan sipil tersebut.

Pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Anwar Hafid-Sumisi Marunduh ini dilakukan berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri No. 132.72-2944 tanggal 23 Mei 2013 tentang pemberhentian dan pengangkatan Anwar Hafid sebagai Bupati Morowali serta No.132.72.2945 tanggal 23 Mei 2013 tentang pemberhentian dan pengangkatan Sumisi Marunduh sebagai Wakil Bupati Morowali.

Pasangan pertahanan (incumbent) ini terpilih kembali memimpin Morowali untuk periode lima tahun ke depan setelah meraih suara terbanyak dalam pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Morowali pada tanggal 13 Maret 2013.

Dalam PSU itu, Anwar Hafid-Sumisi Marunduh meraih 59.787 suara atau (56,6 persen), pasangan Ahmad M. Ali-Yakin Tumakaka 26.152 suara (24,8 persen), Chaeruddin Zen-Delis Hehi 17.676 suara (16,7 persen), dan Burhan Hamading-Huragas 2.012 suara (1,9 persen).

Jumlah pemilih yang memberikan suara adalah 106.425 orang atau 72,3 persen, sedangkan suara sah berjumlah 105.627 suara.

Gubernur Sulteng Longki Djanggola dalam sambutannya meminta bupati dan wakil bupati baru merangkul semua pihak, membangun kebersamaan, serta membentuk jajaran birokrasi yang solid untuk membangun Morowali yang maju dan sejahtera.

'Saya yakin ada yang tidak puas dengan hasil pilkada ini. Namun, mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju, puas atau tidak puas, semua pihak harus menerima dan menjunjung tinggi sebab ini adalah produk demokrasi yang berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,' ujar Longki.

Ia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada penjabat Bupati Morowali Baharuddin Tanriwali serta semua pihak terkait seperti KPU, Panwas, tim sukses, birokrat, dan aparat keamanan yang telah bekerja sama dengan baik sehingga seluruh proses Pilkada Morowali yang berlangsung sejak Mei 2012 berjalan dalam suasana aman, tenteran, damai, dan demokratis.

'Kepada Saudara Baharuddin Tanriwali, saya menilai Saudara sukses menjalankan tugas melaksanakan pemungutan suara ulang Pilkada Morowali ini,' ujar Longki mengapresiasi Baharuddin Tanriwaliu yang juga Aisten Pemerintahan Setdaprov Sulteng itu.

Pilkada Morowali berproses sejak Mei 2012 dan puncaknya pemungutan suara 27 November 2012. Namun, hasil pemungutan suara digugat oleh salah satu pasangan Achmad H. Ali-Yakin Tumakaka dan Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemungutan suara ulang karena KPU Morowali dinilai tidak profesional dan melanggar hukum sebab menetapkan Andi Muhammad sebagai calon bupati, padahal yang bersangkutan tidak memenuhi syarat kesehatan.(ant/rd)

(Sumber : ciputranews.com)
Pemungutan suara ulang (PSU) pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Selatan yang digelar pada 13 Maret 2013 lalu, akhirnya menghasilkan bupati dan wakil bupati terpilih. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusannya menetapkan hasil perolehan suara pasangan H. Anwar Hafid-S.U. Marunduh dengan 59.787 suara, mengungguli perolehan tiga pasangan calon lainnya. “Pasangan calon nomot urut 2 atas nama Drs. H. Anwar Hafid, M.Si dan Drs. S.U. Marunduh, M.Hum memperoleh 59.787 suara,” kata Ketua MK M. Akil Mochtar membacakan perolehan suara pasangan calon, dalam sidang pengucapan putusan Nomor 98/PHPU.D-X/2012 yang digelar pada Kamis (25/4/2013), di Ruang Sidang Pleno lt. 2 gedung MK.

Permohonan sengketa hasil PSU Pemilukada Morowali diajukan oleh dua pasangan calon, yaitu pasangan H. Ahmad Hi. M. Ali-Jakin Tumakaka (perkara Nomor 98/PHPU.D-X/2012) dan pasangan Chaeruddin N. Zen-Dellis Julkarson Hehi (perkara Nomor 99/PHPU.D-X/2012).

Adapun amar putusan MK terhadap permohonan pasangan H. Ahmad Hi. M. Ali-Jakin Tumakaka, yaitu, MK membatalkan Keputusan KPU Kabupaten Morowali Nomor 21/Kpts/KPU.Kab.024.43155/XII/2012 tentang Penetapan dan Pengesahan Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Morowali Tahun 2012, tanggal 7 Desember 2012.

Kemudian, Mahkamah menetapkan hasil perolehan suara dari masing-masing pasangan calon, yakni, pasangan Hi. Burhan Hi.Hamading-Huragas Talingkau (nomor urut 1) memperoleh 2.012 suara; pasangan H. Anwar Hafid-S.U. Marunduh (nomor urut 2) memperoleh 59.787 suara; pasangan H. Ahmad M. Ali-Jakin Tumakaka (nomor urut 4) memperoleh 26.152 suara; dan pasangan H. Chaeruddin Zen-Delis J. Hehi (nomor urut 5) memperoleh 17.676 suara.

MK juga memerintahkan KPU untuk melaksanakan putusan MK. Terakhir, MK menyatakan menolak keberatan yang diajukan oleh pasangan H. Ahmad Hi. M. Ali-Jakin Tumakaka. “Menolak keberatan Pemohon,” ucap Akil.

Sementara itu, MK dalam amar putusan Nomor 99/PHPU.D-X/2012, menyatakan menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh pasangan Chaeruddin N. Zen-Dellis Julkarson Hehi. “Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” tandas M. Akil Mochtar. (Nur Rosihin Ana/mh)
Palu (antarasulteng.com) - Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, pasangan incumbent H. Anwar Hafid-Sumisi Marunduh, kembali memimpin Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, periode 2013-2018.

KPU Pusat menetapkan hasil pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Morowali itu dalam sebuah rapat pleno yang dipimpin Koordinator Wilayah Sulawesi Tengah KPU Pusat, Juri Arbiantoro di Gedung Olah Raga Bungku, Jumat.

Penetapan ini lebih cepat satu hari dari jadwal yang ditetapkan KPU Sulawesi Tengah yakni 23 Maret 2013, kata anggota KPU Sulteng Patricia Lamarauna.

Sesuai hasil rapat pleno rekapitulasi penghitungan perolehan suara, pasangan petahanan Anwar Hafid - Sumisi Marunduh meraih 59.787 suara atau (56,6 persen), pasangan Ahmad M. Ali - Yakin Tumakaka 26.152 suara (24,8 persen), Chaeruddin Zen - Delis Hehi 17.676 suara (16,7 persen) dan Burhan Hamading - Huragas Talingkau 2.012 suara (1,9 persen).

Jumlah pemilih yang memberikan suaranya pada yang digelar 13 Maret 2013 itu adalah 106.425 orang atau 72,3 persen sedangkan suara sah berjumlah 105.627 suara.

Usai menetapkan hasil perolehan suara itu, kata Patricia, KPU pusat juga menggelar rapat pleno kedua untuk mengesahkan pasangan Anwar Hafid-Sumisi Marunduh sebagai pemenang PSU.

"Sesuai laporan yang kami terima dari Bungku, rapat pleno KPU Pusat yang menetapkan hasil PSU Morowali tersebut berjalan lancar tanpa hambatan berarti dan dihadiri oleh perwakilan kandidat," ujar Patricia.

Ratusan personel kepolisian yang dilengkapi peralatan antihuru-hara juga tampak menjaga gedung olah raga Bungku tempat lima orang komisioner KPU Pusat menggelar rapat pleno tersebut.

Patricia menjelaskan bahwa KPU Pusat mengambil alih pleno rekapitulasi perolehan suara dan penetapan pemenang karena KPU Sulteng tidak korum menyusul pengunduran diri Yahdi Basma selaku anggota KPU Sulteng sehingga KPU Slteng tinggal tesisa tiga anggota.

Pleno KPU Pusat itu dipimpin Juri Arbiantoro dan dihadiri empat komisioner lainnyayakni Feery, Arif Budiman, Sigit dan Hadad Nasib Gumai.

PSU Morowali digelar 13 Maret 2013 setelah Mahkamah Konstitusi pada sidangnya 18 Januari 2013, membatalkan hasil pilkada 27 November 2012 yang dimenangkan pasangan `incumbent` Anwar Hafid-Sumisi Marunduh karena KPU Morowali terbukti melanggar aturan yakni meloloskan Andi Muhammad sebagai kandidat bupati padahal yang bersangkutan tidak memenuhi syarat kesehatan.

MK memerintahkan KPU Sulteng menggelar PSU tersebut karena empat komisioner KPU Morowali telah dipecat akibat pelanggaan itu. Namun ketika proses PSU ditangani KPU Sulteng, seorang komisioner KPU Sulteng mengundurkan diri sehingga KPU Sulteng tinggal tiga orang karena seorang anggota lagi sudah mundur tahun lalu.

Sesuai ketentuan, pleno KPU provinsi baru bisa korum kalau dihadiri empat anggota, oleh karena itu, sesuai ketentuan yang berlaku, KPU Pusat mengambil alih pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara dan penetapan pemenang Pilkada Morowali tersebut. 

Editor : Rolex Malaha
Sumber : Jaringnews

Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi mengungkapkan,  pengadaan barang dan jasa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, bermasalah.

Fitra menduga, Pengadaan barang dan jasa bernilai diatas Rp 200 juta untuk Pemilihan Suara Ulang (PSU), dengan penunjukan langsung dan diserahkan kepada perusahaan hitam.
"Perusahaan sudah masuk daftar hitam, dan peraturan ini sudah melanggar Peraturan Presiden No. 54/2010 tentang pengadaan barang dan jasa. Dimana, Pasal 19 ayat 1 tidak boleh masuk perusahaan daftar hitam," ujar Uchok dalam diskusi bertajuk, 'Ada Korupsi Dibalik Pemungutan Suara Ulang (PSU), Mungkinkah Pilkada Morowali Ilegal?', di Bawaslu Center, Jakarta, Sabtu (16/3). 

Dia mengutarakan, dengan pagu diatas Rp 200 juta tidak boleh dilakukan penunjukan langsung. Dengan penunjukan langsung, jelas Uchok, disinyalir telah terjadi persengkongkolan.

"Dan ini sudah masuk pidana, dan kelihatannya tidak sah dalam proses anggaran, " tegas Uchok. Menurutnya, bila proses pengadaan barang dan jasa sudah sesuai dengan Peraturan Dalam Negeri No. 13/2006  dan Peraturan Presiden peraturan Presiden No. 54/2010 adalah akal-akalan.

Sementara, mantan Anggota Komisioner Komisi Pemiluhan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tengah, Yahdi Basma, mengatakan,  menolak Pemunguran Suara Ulang (PSU) Kabupaten Morowali tahun 2013.

"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PHPU. D-X/2012 yang memutuskan Pilkada ulang di Morowali. Dan saya simpulkan, tidak mungkin meraih kualitas demokrasi dalam PSU Jika dilaksanakan 16 Maret," ujarnya.

Dia beralasan dengan amar putusan MK selama 60 hari akan digelar Pilkada ulang akan diputuskan sangat tidak rasional. "Sikap saya ini mengacu pada yurisprudensi berupa Ketetapan MK diberbagai eksekusi PSU yang diberi tambahan waktu jika memang secara teknis beralasan," imbuhnya.

Dia menambahkan, PSU yang membutuhkan dana sebesar Rp 25 miliar tidak disiapkan dalam APBD 2012, dan APBD 2013. "Sehingga bila mengeluarkan dari item APBD yang ada sudah melanggar undang-undang yang berlaku," tambahnya
(Ral / Mys)
Sumber : GATRAnews

Pakar Hukum Tata Negara Margarito menilai, Pemungutan Suara Ulang (PSU) pemilihan bupati Morowali, Sulawesi Tengah, cacat hukum, karena ada sejumlah persyaratan yang tidak terpenuhi, sebagaimana diatur perundang-undangan.

Penilaian Margarito tersebut disampaikannya dalam diskusi bertajuk "Ada Korupsi di Balik Pemungutan Suara Ulang (PSU), Mungkinkah Pilkada Morowali Ilegal?", di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta Pusat, Sabtu (16/3).

Menurutnya, PSU yang dilaksanaan 12 Maret lalu dan menelan dana Rp 25 miliyar itu cacat hukum, karena rapat pleno KPUD tidak memenuhi korum. Pasalnya, 2 dari 5 komisioner KPU Sulteng telah mengundurkan diri. Sesuai ketentuan, keputusan dinyatakan sah jika diputuskan oleh minimal 4 komisioner.

Selain itu, sumber anggaran yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan PSU juga masih menimbulkan perdebatan, karena dalam pos anggaran sebelumnya, tidak diatur untuk PSU, sehingga kebijakan antara KPU Provinsi dan Pelaksana Tugas (Plt) Bupati yang ada, berinisiatif mengambilnya dari pos anggaran sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Morowali.

Margarito mengungkapkan hal ini, setelah Koordinator Advokasi Sekretaris Nasional, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Ucok Sky Khadafi, melihat ada masalah terkait langkah tersebut.

"Saya cari-cari landasan hukumnya tidak ada. Mereka katakan dilakukan setelah rapat koordinasi sesuai Permendagri Nomor 57 Tahun 2009. Ini bencana," tandas Ucok.

Menurutnya, Permendagri itu menjadi dasar, seharusnya, sebelum dana dicairkan, terlebih dahulu dibahas dalam rapat paripurna DPRD. "Semua komisi di DPRD harus tahu, karena terkait anggaran SKPD-SKPD yang ada ke depan. Jadi, tidak boleh hanya dengan rapat koordinasi," nilainya.

Sebagaimana diberitakan, pada 5 Januari lalu, MK memerintahkan dilaksanakannya PSU Pilkada Kabupaten Morowali, Sulteng, dalam waktu 60 hari sejak putusan dibacakan. Perintah diberikan kepada KPU Sulteng, karena pada saat itu, komisioner KPUD Morowali hanya tersisa 1 orang, setelah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), memecat 4 komisioner yang ada.

"Waktu yang ada ini cukup singkat. Sementara agar partisipasi pemilih dalam PSU nantinya baik, kan membutuhkan waktu sosialisasi," ujar Komisioner KPU Sulteng, Yahdi Basma, yang menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya setelah berbeda pendapat dari komisioner lainnya.

Namun, rupanya langkah pengunduran diri Yahdi tidak menyurutkan langkah komisioner KPUD lainnya. Mereka tetap menggelar rapat pleno dan mengambil sejumlah kebijakan. Padahal sebelum Yahdi, seorang komisioner KPU lainnya juga telah mengundurkan diri. Dengan demikian Yahdi menilai, keputusan pleno untuk menyelenggarakan PSU tidak cukup kuorum. Karena sesuai ketentuan hukum, keputusan dinyatakan sah jika diputuskan oleh minimal 4 komisioner.

Sejak awal memang pilkada Morowali ini menjadi perhatian publik, karena masalah posisi penyelenggara KPU Kabupaten Morowali yang tidak independen. 4 dari 5 komisioner Kabupaten Morowali diberhentikan DKPP. Oleh karen itulah, PSU Pilkada Morowali ini diambil alih KPUD Sulteng. Ternyata KPU Sulteng sendiri bermasalah.

Bukan hanya itu, penyelenggaraan PSU Morowali ini juga sarat dengan korupsi, karena pengadaan logistik dilakukan dengan penunjukan langsung. Anggaran untuk PSU sebesar Rp25 miliar yg diambil dari berbagai pos SKPD, karena tidak dianggarkan dalam APBD 2012 dan 2013 rawan. (IS)
Persoalan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Morowali memicu terjadinya konflik di dalam lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tengah. Puncaknya, salah seorang anggota komisionernya, yakni Yahdi Basma, memilih mundur.

Ketua Divisi Hukum di KPU Sulteng tersebut, menyatakan mundur dari anggota KPU periode 2008-2013 itu pada Rabu sore, dengan alasann, KPU Sulteng memaksakan pelaksanaan PSU Morowali yang dia nilai menabrak berbagai aturan.

"Saya melihat komisioner KPU Provinsi Sulteng tidak profesional dalam menggelar tahapan PSU Morowali," kata Yahdi Basma dalam rilisnya yang kepada Seruu.com.

Ia juga menyatakan, pengunduran dirinya sebagai upaya yang paling bisa dilakukan menyelamatkan kerugian uang rakyat senilai Rp 25 Miliar untuk biaya PSU Morowali, yg cenderung tidak beralas hukum.

Dengan pengunduran diri Yahdi Basma tersebut, maka akan berpengaruh langsung pada organisasi KPU Sulteng, utamanya dalam pengambilan keputusan nantinya. Sebab berdasarkan pasal 33 (1) UU 15/2011 ttg Penyelenggara Pemilu, quorum utk Pleno harus dihadiri minimal 4 orang Komisioner.

"Sementara saat ini tersisa 3 orang, dan PAW sudah tidak ada," tegas Yahdi, yang juga Ketua KNPI Sulteng tersebut.

Pengunduran diri Yahdi Basma juga diyakini akan merubah konstalasi PSU Morowali. sebab pada pasal 127 UU 10/2008 ttg Pemerintahan Daerah, KPU 1 tingkat diatasx harus mengambil alih jika terdapat keadaan tidak dapat melaksanakan tugas.

"KPU Pusat harus mengambil alih PSU Morowali," ujarnya lagi.

Terkait dengan perkembangan PSU Morowali, sejak awal, Yahdi Basma mengaku bahwa ia mengusulkan agar KPU Sulteng minta tambahan waktu ke MK, minimal dari 60 Hari ditambah 60 hari lagi, atau dengan total 120 hari. Alasannya demi kualitas demokrasi dalam PSU.[HSB]

Untuk melihat sumber berita ini klik disini
Back To Top