Articles by "Renungan"
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Bacaan : Pengkhotbah 7:8-14
Nats : Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh (Pengkhotbah 7:9)
Ketika air laut sedang surut, banyak anak menangkap kepiting kecil di tepi Pantai Belawan, Sumatera Utara. Anak-anak itu memegang setangkai kayu pendek dengan seutas tali pancing pendek. Sebuah batu atau kayu yang sangat kecil diikatkan di ujung tali pancing. Mereka menyentuhkannya kepada kepiting yang sedang mengintip dari rongga-rongga pasir yang kering. Biasanya kepiting itu akan marah, lalu menjepit batu atau kayu kecil itu. Itulah saat yang ditunggu anak-anak itu. Mereka menarik kayunya dan memasukkan kepiting itu ke dalam ember atau wadah penampung lainnya. Kepiting itu akan menjadi mainan mereka atau kemudian dijual seharga Rp 500,00 kepada anak lain. Amarah telah mencelakakan si kepiting.

Banyak hal yang dapat memancing amarah kita dan menguras persediaan kesabaran kita. Namun, kemarahan seringkali membuat seseorang bertindak dengan tidak bijaksana. Ketika kita marah, emosi negatif akan mendominasi perasaan kita dan menuntut pelampiasan yang sepadan. Ketika melampiaskannya, mungkin kita merasakan kepuasan sesaat, namun setelah itu kita dirundung oleh penyesalan dan rasa bersalah. Kadang-kadang, amarah bahkan bisa mencelakakan kita.

Untuk dapat meredam amarah, kita perlu melatih dan memelihara kesabaran. Bukan berarti kita tidak boleh marah, namun emosi kita semestinya tidak lekas terpancing. Kita juga perlu belajar untuk marah pada saat yang tepat dan memberikan respon dengan cara yang benar sehingga kita tidak perlu menyesalinya kemudian.
AKAN SELALAU ADA PERKARA YANG MEMANCING KEMARAHAN KITA, NAMUN KITA DAPAT MEMILIH UNTUK TIDAK MENANGGAPINYA.
Basuhlah Aku, Maka Aku Menjadi Lebih Putih Dari Salju
Mazmur 51 : 1 – 15
Dari perikop bacaan kita saat ini, kami mengambil satu ayat yang menjadi titik perenungan kita, yaitu ayatnya yang ke 9 bahagian (b), “Basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju”. Persoalan disekitar putih – memutih adalah merupakan hal yang sudah sering dan tentunya banyak kali kita lakukan. Bahkan hal inipun banyak mendominasi iklan-iklan ditelevisi. Mulai dari pemutih pakaian, pemutih kulit, sampai dengan pemutih wajah.

Untuk memiliki wajah dan kulit yang putih bersih misalnya, kita seringkali rela untuk menghabiskan banyak uang, membeli berbagai kosmetik untuk mendapatkan seperti apa yang kita harapkan. Dan hal ini tentunya tidaklah salah karena menyangkut hak kita setiap orang. Hal ini juga tidak ada orang lain yang dapat melarang. Namun yang menjadi persoalan disini adalah : “Kita sebagai manusia seringkali lebih mengejar putih secara lahiriah saja, kita lebih banyak berusaha untuk memutihkan diri, atau tampil lebih cantik dan gagah secara fisik saja, padahal yang namanya cantik dan gagah itu tentunya mencakup lahir dan bathin seseorang”.

Sangat jelas diceritakan, bagaimana Raja Daud harus bersujud di hadapan Tuhan.......memohon, agar hatinya dibasuh menjadi putih seperti salju......
Mengapa hal ini dilakukan oleh Raja Daud? Oleh karena dia sungguh menyadari betapa beban dosa yang dialaminya sangat berat, yang pernah dilakukannya dihadapan Tuhan. Daud sadar akan hal itu, setelah nabi Natan diutus oleh Tuhan untuk datang memperingatkan dia (dalam ayatnya yang ke 2 bacaan kita saat ini).
Sebagai seorang Raja, sebenarnya Daud memiliki kekuasaan besar untuk melakukan apa yang dingini hatinya, sejauh keinginan itu tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan tentunya.
Namun apa yang dilakukan Daud, sangat menyedihkan dan mendukakan hati Tuhan......dimana, Daud telah berzinah dengan Betsyeba dan untuk mencapai keinginan hatinya, ia tega merencanakan kematian Uria suami dari Betsyeba, dengan membiarkan Uria ditewaskan dengan pedang dimedan pertempuran (kejadian ini diceritkan dalam bahagian Alkitab yang lain, dapat kita lihat dalam 2 Samuel 12 : 1-15).
Beban yang harus ditanggung oleh Daud amatlah berat. Namun syukurlah, Tuhan masih mengasihi Daud, sehingga Ia mengutus nabi Natan untuk menegur Daud. Dan teguran inipun didengar oleh raja Daud, sehingga ia bertekad untuk merobah segala tindakan, membaharui diri dan berjalan sesuai rencana dan kehendak Tuhan. Teguran ini bukan hanya didengar begitu saja oleh Daud, tetapi dia benar-benar menyadari akan kesalahannya, dan ada niat yang sungguh-sungguh untuk merubah segala perilakunya yang buruk, dia ingin memperbaharui dirinya. Daud sungguh-sungguh menyadari perbuatannya dan bertobat, walaupun ia harus menanggung akibat dari perbuatannya itu. 

Kalau kita mencermati lebih dalam lagi Mazmur 51, perikop bacaan ini merupakan ungkapan penyesalan dan pertobatan Daud yang cukup luar biasa. Mungkin dari luar, Daud kelihatan “putih” dihadapan rakyatnya, oleh karena perjuangannya yang sangat luar biasa dengan sejumlah kesuksesannya sebagai seorang pemimpin. Tetapi dihadapan Tuhan, Daud benar – benar merasa tidak berarti apa-apa........... oleh sebab itu ia memohon dengan sangat kepada Tuhan untuk dapat mengampuni dosanya. Ia memohon agar Tuhan membasuhnya, sehingga hatinya yang kotor diubah menjadi putih seperti salju.
Pengakuan dan keterbukaan raja Daud dihadapan Tuhan inilah yang menjadi inti perenungan kita dalam persekutuan saat ini. Daud mengaku dihadapan Tuhan akan segala dosanya dan oleh karena itu dia memohon kiranya Tuhan masih berkenan untuk dapat memperbaharui hatinya. Kiranya hal ini juga dapat menggugah hati kita semua dan kita mau merenungkan lebih dalam lagi perjalanan hidup yang telah kita lalui.....
Ketika kita mau berkata jujur dan mau terbuka dihadapan Tuhan, tentunya setiap kita tidak terkecuali, pasti akan mengakui bahwa dihadapan Tuhan kita tidak berarti apa-apa. Dihadapan Tuhan kita tentunya adalah manusia yang serba berkekurangan, yang seringkali mudah jatuh kedalam dosa pencobaan.

Kebenaran Firman Tuhan saat ini, hendak mengarahkan saya, Bapak/Ibu/saudara-saudara dan kita semua, agar kita jangan hanya berupaya untuk menjadi putih secara lahiriah saja....tetapi lebih dari itu kita akan berupaya juga untuk menjadi putih secara lahir dan batin. Kita mau membuka diri dihadapan Tuhan, dan mau mengaku akan kesalahan yang pernah kita perbuat, serta memohon untuk dapat dipulihkan oleh Tuhan. Marilah kita terus berusaha untuk mengutamakan kejernihan hati. Ketika ada keinginan-keinginan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, yang berkecamuk didalam hati dan pikiran kita, kita dapat mengambil waktu untuk duduk berdoa dihadapan Tuhan, meminta pertolongan hanya kepada Tuhan Yesus.......... Sebab hanya dengan kuasa Yesus, kita dapat menerima pengampunan, sehingga kita bisa memiliki hati yang putih seperti salju.
Dengan demikian, pancaran kemuliaan Allah akan terus menyala lewat perbuatan dan segala tindakan kita dalam menjalani hari-hari kehidupan ini, dimana TUHAN masih menganugerahkan kehidupan bagi kita semua. Menjadi perenungan kita bersama, bahwa betapa mulia hati Tuhan Yesus, yang mau rela berkorban untuk membasuh dosa kita. Pertanyaan bagi kita semua.....Apakah kita masih ingin terus mendukakan hati Tuhan?

Terpujilah Yesus Kristus, Amin.
Teladan Dari Kisah Pencobaan Tuhan Yesus
Lukas 4 : 1 - 13


Pada satu sisi kitab Injil menyaksikan peristiwa yang dapat dikatakan sebagai pelantikan Yesus selaku Anak Allah disaat Dia dibaptis di sungai Yordan. Namun pada sisi lain (dalam perikop bacaan kita saat ini) Kitab Injil juga menyaksikan bagaimana Yesus selaku Anak Allah tidak mendapat pengecualian, tidak  mendapat dispensasi untuk terbebas dari pencobaan-pencobaan.
Dalam perenungan saat ini, kita tidak hendak mempersoalkan mengapa Yesus harus dicobai dimana Dia adalah Anak Allah, kita tidak hendak mempersoalkan apakah Yesus mempunyai peluang untuk kalah dalam pencobaan iblis. Tetapi satu hal yang sangat perlu untuk kita renungkan dan kita pedomani lewat perikop bacaan Lukas 4 : 1 – 13 saat ini adalah adalah Yesus telah memberikan teladan yang baik bagi kita semua, lewat pencobaan yang dialaminya, dimana imanNya telah mengalahkan segala kuasa iblis. Bukan karena kuasanya tetapi karena imanNya.

Dalam bagian alkitab yang lain (Lukas 3:21-22) Allah telah berfirman: “Engkaulah Anak yang kukasihi, kepadaMulah Aku berkenan”. Dalam hal ini Allah telah melantik Yesus di hadapan publik bahwa Dia adalah Anak Allah. Oleh karena itu Yesus juga harus mampu membuktikan bagaimana kesetiaan dan ketaatanNya sebagai Anak Allah, dimana status pelantikan Yesus sebagai Anak Allah bukanlah suatu jaminan untuk membebaskanNya dari upaya jeratan iblis. Sebaliknya dengan statusNya itu, justru semakin menempatkan Dia untuk mengalami pencobaan yang lebih besar. Bahkan dalam perikop bacaan kita saat ini, tentunya kita semua setuju kalau dikatakan bahwa ini bukanlah sebuah pencobaan yang biasa-biasa saja, karena pencobaan yang dialami oleh Yesus adalah pencobaan dimana Dia berhadapan langsung dengan iblis pada saat itu.
Iblis datang mencobai Yesus pada saat Yesus sedang berpuasa selama 40 hari dipadang gurun. Dalam wujudNya sebagai manusia pada saat itu tentunya Yesus tunduk terhadap hukum alam yang berlaku, dimana hal ini akan membuat kondisi fisikNya menjadi lemah karena tidak makan selama 40 hari. Dan inilah peluang besar yang dilihat oleh iblis srhingga dia mengambil kesempatan untuk mencobai Tuhan Yesus. Mari kita melihat pencobaan pertama, saat iblis menyuruh Yesus untuk mengubah batu menjadi roti, namun Yesus yang sebenarnya mempunyai kuasa  untuk melakukan itu dan sebenarnya menguntungkan bagi diriNya sendiri yang sedang lapar setelah berpuasa, tidak mau melakukan begitu saja apa yang dikatakan iblis dan hanya berkata “manusia hidup bukan dari roti saja”. Tawaran iblis ini sebenarnya sangat menguntungkan bagi Yesus sendiri, dan kuasa yang ada dalam diriNya dapa melakukan semuanya itu, tetapi Yesus tidak mau begitu saja mengikuti apa yang menjadi kehendak iblis. Pencobaan yang kedua, Iblis menawarkan kepada Yesus suatu solusi atau jalan keluar yang terbaik untuk menyelesaikan misiNya selaku Anak Allah, yaitu menciptakan perdamaian dalam genggaman tanganNya. Tetapi dengan syarat, Yesus harus bersedia untuk menyembah Iblis cukup satu kali saja. Tawaran iblis tentunya sangat baik dan mudah dilakukan, sehingga Yesus tidak perlu bersusah payah menjalankan misinya sebagai Anak Allah, tetapi bagi Yesus, bagaimanapun luhur dan mulianya suatu tujuan, bilamana ditempuh dengan cara yang sesat atau mengingkari iman kepada Allah, tentunya itu adalah suatu perbuatan yang jahat. Sehingga iming-iming Iblis yang akan memberikan kerajaan dunia tetapi dengan menyembahnya, tentunya ini adalah suatu kebohongan. Kemudian yang ketiga, iblis menyuruh Yesus untuk naik ke bait Allah dan menjatuhkan diriNya ke bawah. Metode dan gagasan Iblis tersebut dipenuhi oleh konsep teologis yang didukung oleh ayat-ayat dalam Kitab Suci dan nubuat para nabi. Dimana, bila Yesus muncul dari bubungan Bait Allah, maka Bait Allah akan menjadi pusat ibadah seluruh bangsa. Bait Allah atau Sion akan menjadi pusat yang mampu menarik umat Israel dan seluruh bangsa untuk berduyun-duyun mengunjunginya. Sehingga bilamana Yesus yang sedang berpuasa di padang gurun berkenan pergi dan naik ke atas bubungan Bait Allah, lalu Dia turun sambil disaksikan oleh umat, maka pastilah gelar ke-Mesias-an Yesus segera diakui. Namun Yesus juga tidak melakukan semuanya itu, Dia hanya berkata kepada iblis : “Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu!".  Perkataan Yesus ini memperhadapkan kepada Iblis untuk menyadari jati-diri Yesus sendiri selaku Anak Allah. Dalam hal ini Yesus bukan hanya Anak Allah dalam pengertian atau konsep teologis umat Israel, yakni seorang malaikat atau orang yang diurapi; tetapi juga Dia adalah yang sehakikat dengan Allah.

Dalam keberadaan kehidupan kita masing-masing, siapapun kita tentunya mempunyai kuasa atau wewenang ataupun pengaruh  tertentu baik itu dalam kehidupan kita didalam rumah tangga masing-masing, ditempat kerja ataupun didalam berbagai komunitas-komunitas kita masing-masing, dalam organisasi dan lain sebagainya. Dan jika kita mau jujur, tentunya pencobaan-pencobaan seperti yang dialami oleh Yesus, pernah juga kita alami walaupun dalam bentuk yang lain, dengan cara – cara yang lain. Contoh kecil, suami sebagai kepala rumah tangga misalnya, yang memiliki penghasilan atau gaji sebagai sumber kehidupan keluarga, merasa mempunyai hak atau berkuasa atas gajinya, bisa saja karena merasa memiliki hak sepenuhnya atas gaji tersebut, dia akan berfoya – foya menghamburkan gajinya hanya untuk kepentingannya sendiri, atau hanya untuk kesenangannya dirinya sendiri tanpa memikirkan kehidupan keluarganya. Contoh lain, mungkin kita sebagai pimpinan didalam suatu organisasi, atau dalam suatu komunitas apa saja, manakala kita mengalami keadaan yang kritis, butuh uang yang lebih untuk kepentingan keluarga misalnya, kita akan mencoba – coba untuk mengambil hak orang lain yang bukan menjadi hak kita. Karena merasa memiliki kuasa, maka seenaknya melakukan hal – hal seperti itu. Memang kita mempunyai tujuan yang mulia, yaitu untuk mensejahterakan keluarga kita, namun cara kita yang salah dan telah merugikan orang lain. Ini hanya contoh, dan tidak menutup kemungkinan masih banyak contoh-contoh yang lain, yang seringkali tanpa kita sadari bahwa semuanya itu adalah bisikan dari iblis, dan kita telah tunduk atas kuasa iblis tersebut.  Sebagai manusia biasa, tentunya kita memiliki logika dan cara pandang seperti apa yang disebutkan diatas (dalam pencobaan Tuhan Yesus). Apa salahnya kita menggunakan kekuasaan, kekuatan, wewenang dan pengaruh yang ada untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri. Bilamana kita mampu untuk melakukan sesuatu, apalagi pada saat yang kritis kita membutuhkan, apa salahnya kita menggunakan sebentar saja atau sekali-sekali saja kekuasaan itu?

Tuhan Yesus melawan iblis dengan sikap ketaatan dan kesetiaanNya kepada firman Allah. Itu sebabnya dalam pencobaanNya, Tuhan Yesus tidak pernah tergoda untuk menggunakan kekuasaan, wewenang dan pengaruhNya selaku Anak Allah untuk kepentingan diriNya sendiri. KuasaNya sebagai Anak Allah hanya digunakan oleh Tuhan Yesus untuk kesejahteraan dan keselamatan umat manusia. Tuhan Yesus juga tetap mawas diri dan tidak tergoda untuk mengkompromikan antara kebenaran dengan kejahatan. Yang mana tujuanNya yang mulia tidak mau Dia capai dengan menyembah Iblis. Tuhan Yesus juga tidak mengikuti kehendak Iblis untuk mencari popularitas diri dengan menggunakan Bait Allah. Bagi Yesus, tidaklah cukup sekedar membangun iman dengan pembenaran diri berdasarkan ayat-ayat Kitab Suci. Sebab tanpa dibangun oleh hati yang tulus, maka segala tindakan kita yang tampak suci justru dilakukan untuk mencobai Allah. Iman seperti inilah yang akan menjadi pedoman untuk memampukan kita menjalankan tugas kewajiban dan segala aktifitas kita dengan benar dihadapan Allah.Kualitas jati-diri kita terlihat saat kita tidak memiliki apa-apa, seperti kondisi lapar dan berkekurangan. Tetapi juga akan terlihat saat kita memiliki apa-apa seperti kuasa, wewenang dan pengaruh. Dalam dua kesempatan inilah, iblis melihat peluang untuk mencobai kita manusia, disaat kita lapar dan berkekurangan dan disaat kita berkelebihan, mempunyai kuasa, wewenang dan pengaruh. Pertanyaan untuk menjadi perenungan kita semua :
  1. Apakah kita akan tetap mampu bersyukur saat tidak memiliki apa-apa , dan pada sisi lain memiliki sikap mawas diri saat berkelebihan dan memiliki kuasa atau wewenang?
  2. Apakah kita mampu menolak untuk mengkompromikan tujuan yang tampak mulia dengan cara mengingkari iman atau tindakan menyembah iblis?
  3.  Apakah kita mampu menolak setiap tindakan manipulatif saat melayani Tuhan hanya untuk kemuliaan diri kita sendiri?
Ketiga faktor inilah yang akan membangun iman kita dan memberikan kekuatan ketika kita diperhadapkan dengan pencobaan iblis, sikap mawas diri, tidak pernah berkompromi dengan kua¬sa dunia, dan menolak tindakan manipulatif serta pemujaan diri sendiri hanya demi popularitas. Marilah Bapak/Ibu/Jemaat yang dikasihi Tuhan, untuk kita tetap mengingat akan ketiga hal itu, dan tetap mempedomani sikap dan tindakan Yesus ketika kita mengalami pencobaan iblis. Yakinlah, Tuhan akan selalu menuntun dan menyertai dalam setiap aktifitas kita sehari-hari. Terpujilah Yesus Kristus, AMIN.
PELAYAN ALLAH
Bacaan : Korintus 6 : 1 – 10

Mengawali perenungan firman Tuhan saat ini, saya hendak mengatakan bahwa kita semua sebagai orang yang mengaku dan percaya kepada Yesus Kristus atau sebagai pengikut Kristus adalah sebagai alat atau dapat dikatakan sebagai pelayan Tuhan baik itu didalam kehidupan kita berjemaat maupun didalam kehidupan bermasyarakat dan didalam kehidupan berumah tangga. Hal ini saya ingin katakan, oleh karena kadangkala kita memahami bahwa pelayan Tuhan atau yang mempunyai tugas melayani Tuhan hanyalah para pendeta ataupun majelis. Saya tidak tahu apakah didalam ilmu teologia ada pengertian lain tentang pelayan Tuhan, Namun menurut pemahaman saya, sesungguhnya ketika kita sebagai orang yang mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Allah kita maka sesungguhnya kita telah menjadi alat untuk melanjutkan misi pelayanan Yesus Kristus, sehingga kita semua dapat dikatakan sebagai pelayan Tuhan, atau dalam pengertian lain kita sebagai perpanjangan tangan Tuhan.

Salah satu kewajiban kita sebagai pengikut Kristus adalah melayani Tuhan dan sesama. Tugas pelayanan ini banyak bentuknya dan dalam berbagai situasi kita dapat melakukannya baik didalam kehidupan berjemaat atau kehidupan bermasyarakat ataupun didalam kehidupan keluarga kita masing-masing. Dan untuk melaksanakan tugas pelayanan ini tentunya tidak hanya sebagai pemimpin ibadah di dalam ibadah evang atau ibadah kategorial, tidak hanya mendoakan orang – orang sakit di rumah sakit, tetapi tugas pelayanan kita sebagai pengikut Kristus mencakup seluruh aspek kehidupan yang berpedoman pada ajaran Yesus Kristus melalui kisah penggembalaanNya selama Ia berada didunia. Contoh : dalam kehidupan berumah tangga, tentunya suami sebagai Kepala keluarga akan melayani isteri dan demikian sebaliknya, saling memberikan motivasi, saling melengkapi ketika ada kekurangan dan saling menasihati ketika ada hal – hal yang dilakukan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Sebagai orang tua dari anak – anak kita, tentunya kita berkewajiban untuk mendidik serta membimbing anak – anak kearah yang benar sesuai ajaran Kristus. Sebagai anggota jemaat, tentunya kita juga berkewajiban untuk saling menasihati ketika ada sesama kita yang mungkin telah melakukan hal – hal yang tidak berkenan dengan kehendak Allah, demikian pula ketika kita hidup ditengah – tengah masyarakat sekitar kita. Itu semua merupakan salah satu contoh tugas kita sebagai pengikut Kristus, yaitu melayani sesama kita. Dan ketika kita melakukan hal ini, ada Firman Tuhan yang berkata : jika kamu melayani sesamamu manusia maka kamu juga telah melayani Tuhan Allahmu.

Perikop bacaan ini merupakan Surat Rasul Paulus yang ditujukan kepada Jemaat di Korintus. Ayat 1 bacaan kita saat ini, rasul Paulus berkata : sebagai teman sekerja, kami menasihatkan kamu. Hal ini dikatakannya kepada jemaat di Korintus, rasul Paulus menganggap bahwa semua jemaat adalah teman sekerja, yang sama – sama mengemban tugas untuk melanjutkan misi Yesus Kristus. Dan dari keseluruhan bacaan kita saat ini, kami mengambil 2 ayat yang menjadi titik perenungan kita yaitu ayat 3 dan 4 (II Korintus 6 : 3 dan 4) “dalam hal apapun kami tidak memberi sebab orang tersandung, supaya pelayanan kami jangan sampai dicela. Sebaliknya, dalam segala hal kami menunjukkan, bahwa kami adalah pelayan Allah, yaitu : dalam menahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, kesesakan dan kesukaran.”

Dari nats yang menjadi titik perenungan ini, saya mengambil kesimpulan atau menarik satu tema dari apa yang telah ditunjukkan oleh Rasul Paulus yaitu “Integritas seorang pelayan”. Integritas kalau dalam kamus besar bahasa indonesia dapat diartikan sebagai : mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan serta kejujuran. Atau dapat disederhanakan demikian : “apa yang kita pikirkan harus sama dengan yang kita katakan, dan apa yang kita katakan harus sama dengan tindakan yang kita lakukan, dimanapun dan kapanpun. Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan.... Rasul Paulus dan rekan-rekannya telah membuktikan integritas mereka sebagai pelayan Allah.

Mari kita perhatikan kalimat “dalam segala hal” pada ayatnya yang 4. Rasul Paulus menjaga integritas dalam setiap bagian kehidupan. Yaitu, mudah untuk mempraktekkan kasih, kesabaran, kemurnian, dan ketaatan kepada Roh Kudus dalam situasi apapun, apakah situasi yang baik maupun dalam situasi ketika kesusahan melanda, orang-orang mengumpat dan memfitnah, keuangan tidak lancar, bahkan ketika maut mengancam. Rasul Paulus tetap tegar dalam situasi atau permasalahan apapun yang mereka hadapi didalam menjalankan tugas pelayanannya. Itulah yang diteladankan oleh Rasul Paulus dan rekan – rekannya sehigga merekapun dapat mendorong jemaat di Korintus untuk melakukan hal yang sama. Jemaat yang Terkasih.... Menjadi pertanyaan bagi kita semua, dan mari kita memeriksa diri kita masing – masing, apakah kita sudah menyatakan sikap sebagai pelayan Allah dalam seluruh bagian kehidupan kita, baik itu dirumah, dilingkungan berjemaat, dilingkungan kerja kita masing – masing, dan dalam aktifitas kita ditengah – tengah kehidupan bermasyarakat. Ataukah orang lain atau sesama kita hanya melihat kita sebagai batu sandungan?

Lewat kebenaran Firman Tuhan saat ini, semoga akan menuntun kita agar dapat belajar bersama – sama untuk menjadi pelayan Allah yang berintegritas (atau yang berlaku jujur sesuai dengan perkataan kita) dan kita tidak akan menjadi batu sandungan, tetapi akan menjadi berkat bagi orang lain. Dalam kehidupan berumah tangga, tentunya kita menginginkan anak – anak kita agar terus bertumbuh dalam iman hanya kepada Yesus Kristus, kita akan menuntun mereka ke jalan yang benar.

Dalam kehidupan berjemaat tentunya kita juga menginginkan adanya keutuhan jemaat, semakin hari akan terus berkembang menujuh kearah yang lebih baik, dalam kehidupan dilingkungan kerja kita masing-masing ataupun ditengah – tengah masyarakat tentunya kita juga menginkan suasana yang lebih baik, mengarah ke pada kehidupan yang akan saling mensejahterakan diantara seluruh komponen masyarat. Kalau kita menginginkan semuanya itu, maka tentunya hal ini HARUS dimulai dari diri kita sendiri. Kita akan memulai untuk berkata – kata dan bertindak dalam status kita sebagai Pelayan Tuhan.

Ketika ada permasalahan yang menghimpit kehidupan kita, kita akan tetap tegar untuk melayani Tuhan. Ketika kita menghadapi suatu permasalahan dengan sesama kita, kita akan terus berupaya untuk berdamai, sehingga kitapun tidak akan menjadi batu sandungan bagi sesama kita dalam mengemban misi penyelamatan Yesus Kristus, demikian sebaliknya sesama kita tidak akan menjadi batu sandungan bagi diri kita sendiri. Kalau kita mampu untuk memulai dari diri kita sendiri maka tentunya kita akan mampu juga untuk menerapkan didalam kehidupan keluarga, jemaat dan masyarakat.

Sekali lagi, Ingatlah bahwa : STATUS “PELAYAN ALLAH” BAGI KITA SEMUA SEBAGAI PENGIKUT KRISTUS, BUKAN HANYA BERLAKU DIDALAM TEMBOK GEREJA, TETAPI STATUS ITU BERLAKU DISETIAP WAKTU DAN SEGALA TEMPAT SERTA DALAM SITUASI APAPUN.
Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amin