Pada satu sisi kitab Injil menyaksikan peristiwa yang dapat dikatakan sebagai pelantikan Yesus selaku Anak Allah disaat Dia dibaptis di sungai Yordan. Namun pada sisi lain (dalam perikop bacaan kita saat ini) Kitab Injil juga menyaksikan bagaimana Yesus selaku Anak Allah tidak mendapat pengecualian, tidak mendapat dispensasi untuk terbebas dari pencobaan-pencobaan.
Dalam perenungan saat ini, kita tidak hendak mempersoalkan mengapa Yesus harus dicobai dimana Dia adalah Anak Allah, kita tidak hendak mempersoalkan apakah Yesus mempunyai peluang untuk kalah dalam pencobaan iblis. Tetapi satu hal yang sangat perlu untuk kita renungkan dan kita pedomani lewat perikop bacaan Lukas 4 : 1 – 13 saat ini adalah adalah Yesus telah memberikan teladan yang baik bagi kita semua, lewat pencobaan yang dialaminya, dimana imanNya telah mengalahkan segala kuasa iblis. Bukan karena kuasanya tetapi karena imanNya.
Dalam bagian alkitab yang lain (Lukas 3:21-22) Allah telah berfirman: “Engkaulah Anak yang kukasihi, kepadaMulah Aku berkenan”. Dalam hal ini Allah telah melantik Yesus di hadapan publik bahwa Dia adalah Anak Allah. Oleh karena itu Yesus juga harus mampu membuktikan bagaimana kesetiaan dan ketaatanNya sebagai Anak Allah, dimana status pelantikan Yesus sebagai Anak Allah bukanlah suatu jaminan untuk membebaskanNya dari upaya jeratan iblis. Sebaliknya dengan statusNya itu, justru semakin menempatkan Dia untuk mengalami pencobaan yang lebih besar. Bahkan dalam perikop bacaan kita saat ini, tentunya kita semua setuju kalau dikatakan bahwa ini bukanlah sebuah pencobaan yang biasa-biasa saja, karena pencobaan yang dialami oleh Yesus adalah pencobaan dimana Dia berhadapan langsung dengan iblis pada saat itu.
Iblis datang mencobai Yesus pada saat Yesus sedang berpuasa selama 40 hari dipadang gurun. Dalam wujudNya sebagai manusia pada saat itu tentunya Yesus tunduk terhadap hukum alam yang berlaku, dimana hal ini akan membuat kondisi fisikNya menjadi lemah karena tidak makan selama 40 hari. Dan inilah peluang besar yang dilihat oleh iblis srhingga dia mengambil kesempatan untuk mencobai Tuhan Yesus. Mari kita melihat pencobaan pertama, saat iblis menyuruh Yesus untuk mengubah batu menjadi roti, namun Yesus yang sebenarnya mempunyai kuasa untuk melakukan itu dan sebenarnya menguntungkan bagi diriNya sendiri yang sedang lapar setelah berpuasa, tidak mau melakukan begitu saja apa yang dikatakan iblis dan hanya berkata “manusia hidup bukan dari roti saja”. Tawaran iblis ini sebenarnya sangat menguntungkan bagi Yesus sendiri, dan kuasa yang ada dalam diriNya dapa melakukan semuanya itu, tetapi Yesus tidak mau begitu saja mengikuti apa yang menjadi kehendak iblis. Pencobaan yang kedua, Iblis menawarkan kepada Yesus suatu solusi atau jalan keluar yang terbaik untuk menyelesaikan misiNya selaku Anak Allah, yaitu menciptakan perdamaian dalam genggaman tanganNya. Tetapi dengan syarat, Yesus harus bersedia untuk menyembah Iblis cukup satu kali saja. Tawaran iblis tentunya sangat baik dan mudah dilakukan, sehingga Yesus tidak perlu bersusah payah menjalankan misinya sebagai Anak Allah, tetapi bagi Yesus, bagaimanapun luhur dan mulianya suatu tujuan, bilamana ditempuh dengan cara yang sesat atau mengingkari iman kepada Allah, tentunya itu adalah suatu perbuatan yang jahat. Sehingga iming-iming Iblis yang akan memberikan kerajaan dunia tetapi dengan menyembahnya, tentunya ini adalah suatu kebohongan. Kemudian yang ketiga, iblis menyuruh Yesus untuk naik ke bait Allah dan menjatuhkan diriNya ke bawah. Metode dan gagasan Iblis tersebut dipenuhi oleh konsep teologis yang didukung oleh ayat-ayat dalam Kitab Suci dan nubuat para nabi. Dimana, bila Yesus muncul dari bubungan Bait Allah, maka Bait Allah akan menjadi pusat ibadah seluruh bangsa. Bait Allah atau Sion akan menjadi pusat yang mampu menarik umat Israel dan seluruh bangsa untuk berduyun-duyun mengunjunginya. Sehingga bilamana Yesus yang sedang berpuasa di padang gurun berkenan pergi dan naik ke atas bubungan Bait Allah, lalu Dia turun sambil disaksikan oleh umat, maka pastilah gelar ke-Mesias-an Yesus segera diakui. Namun Yesus juga tidak melakukan semuanya itu, Dia hanya berkata kepada iblis : “Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu!". Perkataan Yesus ini memperhadapkan kepada Iblis untuk menyadari jati-diri Yesus sendiri selaku Anak Allah. Dalam hal ini Yesus bukan hanya Anak Allah dalam pengertian atau konsep teologis umat Israel, yakni seorang malaikat atau orang yang diurapi; tetapi juga Dia adalah yang sehakikat dengan Allah.
Dalam keberadaan kehidupan kita masing-masing, siapapun kita tentunya mempunyai kuasa atau wewenang ataupun pengaruh tertentu baik itu dalam kehidupan kita didalam rumah tangga masing-masing, ditempat kerja ataupun didalam berbagai komunitas-komunitas kita masing-masing, dalam organisasi dan lain sebagainya. Dan jika kita mau jujur, tentunya pencobaan-pencobaan seperti yang dialami oleh Yesus, pernah juga kita alami walaupun dalam bentuk yang lain, dengan cara – cara yang lain. Contoh kecil, suami sebagai kepala rumah tangga misalnya, yang memiliki penghasilan atau gaji sebagai sumber kehidupan keluarga, merasa mempunyai hak atau berkuasa atas gajinya, bisa saja karena merasa memiliki hak sepenuhnya atas gaji tersebut, dia akan berfoya – foya menghamburkan gajinya hanya untuk kepentingannya sendiri, atau hanya untuk kesenangannya dirinya sendiri tanpa memikirkan kehidupan keluarganya. Contoh lain, mungkin kita sebagai pimpinan didalam suatu organisasi, atau dalam suatu komunitas apa saja, manakala kita mengalami keadaan yang kritis, butuh uang yang lebih untuk kepentingan keluarga misalnya, kita akan mencoba – coba untuk mengambil hak orang lain yang bukan menjadi hak kita. Karena merasa memiliki kuasa, maka seenaknya melakukan hal – hal seperti itu. Memang kita mempunyai tujuan yang mulia, yaitu untuk mensejahterakan keluarga kita, namun cara kita yang salah dan telah merugikan orang lain. Ini hanya contoh, dan tidak menutup kemungkinan masih banyak contoh-contoh yang lain, yang seringkali tanpa kita sadari bahwa semuanya itu adalah bisikan dari iblis, dan kita telah tunduk atas kuasa iblis tersebut. Sebagai manusia biasa, tentunya kita memiliki logika dan cara pandang seperti apa yang disebutkan diatas (dalam pencobaan Tuhan Yesus). Apa salahnya kita menggunakan kekuasaan, kekuatan, wewenang dan pengaruh yang ada untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri. Bilamana kita mampu untuk melakukan sesuatu, apalagi pada saat yang kritis kita membutuhkan, apa salahnya kita menggunakan sebentar saja atau sekali-sekali saja kekuasaan itu?
Tuhan Yesus melawan iblis dengan sikap ketaatan dan kesetiaanNya kepada firman Allah. Itu sebabnya dalam pencobaanNya, Tuhan Yesus tidak pernah tergoda untuk menggunakan kekuasaan, wewenang dan pengaruhNya selaku Anak Allah untuk kepentingan diriNya sendiri. KuasaNya sebagai Anak Allah hanya digunakan oleh Tuhan Yesus untuk kesejahteraan dan keselamatan umat manusia. Tuhan Yesus juga tetap mawas diri dan tidak tergoda untuk mengkompromikan antara kebenaran dengan kejahatan. Yang mana tujuanNya yang mulia tidak mau Dia capai dengan menyembah Iblis. Tuhan Yesus juga tidak mengikuti kehendak Iblis untuk mencari popularitas diri dengan menggunakan Bait Allah. Bagi Yesus, tidaklah cukup sekedar membangun iman dengan pembenaran diri berdasarkan ayat-ayat Kitab Suci. Sebab tanpa dibangun oleh hati yang tulus, maka segala tindakan kita yang tampak suci justru dilakukan untuk mencobai Allah. Iman seperti inilah yang akan menjadi pedoman untuk memampukan kita menjalankan tugas kewajiban dan segala aktifitas kita dengan benar dihadapan Allah.Kualitas jati-diri kita terlihat saat kita tidak memiliki apa-apa, seperti kondisi lapar dan berkekurangan. Tetapi juga akan terlihat saat kita memiliki apa-apa seperti kuasa, wewenang dan pengaruh. Dalam dua kesempatan inilah, iblis melihat peluang untuk mencobai kita manusia, disaat kita lapar dan berkekurangan dan disaat kita berkelebihan, mempunyai kuasa, wewenang dan pengaruh. Pertanyaan untuk menjadi perenungan kita semua :
- Apakah kita akan tetap mampu bersyukur saat tidak memiliki apa-apa , dan pada sisi lain memiliki sikap mawas diri saat berkelebihan dan memiliki kuasa atau wewenang?
- Apakah kita mampu menolak untuk mengkompromikan tujuan yang tampak mulia dengan cara mengingkari iman atau tindakan menyembah iblis?
- Apakah kita mampu menolak setiap tindakan manipulatif saat melayani Tuhan hanya untuk kemuliaan diri kita sendiri?
Ketiga faktor inilah yang akan membangun iman kita dan memberikan kekuatan ketika kita diperhadapkan dengan pencobaan iblis, sikap mawas diri, tidak pernah berkompromi dengan kua¬sa dunia, dan menolak tindakan manipulatif serta pemujaan diri sendiri hanya demi popularitas. Marilah Bapak/Ibu/Jemaat yang dikasihi Tuhan, untuk kita tetap mengingat akan ketiga hal itu, dan tetap mempedomani sikap dan tindakan Yesus ketika kita mengalami pencobaan iblis. Yakinlah, Tuhan akan selalu menuntun dan menyertai dalam setiap aktifitas kita sehari-hari. Terpujilah Yesus Kristus, AMIN.