Sumber : GATRAnews

Pakar Hukum Tata Negara Margarito menilai, Pemungutan Suara Ulang (PSU) pemilihan bupati Morowali, Sulawesi Tengah, cacat hukum, karena ada sejumlah persyaratan yang tidak terpenuhi, sebagaimana diatur perundang-undangan.

Penilaian Margarito tersebut disampaikannya dalam diskusi bertajuk "Ada Korupsi di Balik Pemungutan Suara Ulang (PSU), Mungkinkah Pilkada Morowali Ilegal?", di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta Pusat, Sabtu (16/3).

Menurutnya, PSU yang dilaksanaan 12 Maret lalu dan menelan dana Rp 25 miliyar itu cacat hukum, karena rapat pleno KPUD tidak memenuhi korum. Pasalnya, 2 dari 5 komisioner KPU Sulteng telah mengundurkan diri. Sesuai ketentuan, keputusan dinyatakan sah jika diputuskan oleh minimal 4 komisioner.

Selain itu, sumber anggaran yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan PSU juga masih menimbulkan perdebatan, karena dalam pos anggaran sebelumnya, tidak diatur untuk PSU, sehingga kebijakan antara KPU Provinsi dan Pelaksana Tugas (Plt) Bupati yang ada, berinisiatif mengambilnya dari pos anggaran sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Morowali.

Margarito mengungkapkan hal ini, setelah Koordinator Advokasi Sekretaris Nasional, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Ucok Sky Khadafi, melihat ada masalah terkait langkah tersebut.

"Saya cari-cari landasan hukumnya tidak ada. Mereka katakan dilakukan setelah rapat koordinasi sesuai Permendagri Nomor 57 Tahun 2009. Ini bencana," tandas Ucok.

Menurutnya, Permendagri itu menjadi dasar, seharusnya, sebelum dana dicairkan, terlebih dahulu dibahas dalam rapat paripurna DPRD. "Semua komisi di DPRD harus tahu, karena terkait anggaran SKPD-SKPD yang ada ke depan. Jadi, tidak boleh hanya dengan rapat koordinasi," nilainya.

Sebagaimana diberitakan, pada 5 Januari lalu, MK memerintahkan dilaksanakannya PSU Pilkada Kabupaten Morowali, Sulteng, dalam waktu 60 hari sejak putusan dibacakan. Perintah diberikan kepada KPU Sulteng, karena pada saat itu, komisioner KPUD Morowali hanya tersisa 1 orang, setelah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), memecat 4 komisioner yang ada.

"Waktu yang ada ini cukup singkat. Sementara agar partisipasi pemilih dalam PSU nantinya baik, kan membutuhkan waktu sosialisasi," ujar Komisioner KPU Sulteng, Yahdi Basma, yang menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya setelah berbeda pendapat dari komisioner lainnya.

Namun, rupanya langkah pengunduran diri Yahdi tidak menyurutkan langkah komisioner KPUD lainnya. Mereka tetap menggelar rapat pleno dan mengambil sejumlah kebijakan. Padahal sebelum Yahdi, seorang komisioner KPU lainnya juga telah mengundurkan diri. Dengan demikian Yahdi menilai, keputusan pleno untuk menyelenggarakan PSU tidak cukup kuorum. Karena sesuai ketentuan hukum, keputusan dinyatakan sah jika diputuskan oleh minimal 4 komisioner.

Sejak awal memang pilkada Morowali ini menjadi perhatian publik, karena masalah posisi penyelenggara KPU Kabupaten Morowali yang tidak independen. 4 dari 5 komisioner Kabupaten Morowali diberhentikan DKPP. Oleh karen itulah, PSU Pilkada Morowali ini diambil alih KPUD Sulteng. Ternyata KPU Sulteng sendiri bermasalah.

Bukan hanya itu, penyelenggaraan PSU Morowali ini juga sarat dengan korupsi, karena pengadaan logistik dilakukan dengan penunjukan langsung. Anggaran untuk PSU sebesar Rp25 miliar yg diambil dari berbagai pos SKPD, karena tidak dianggarkan dalam APBD 2012 dan 2013 rawan. (IS)
Share To:

Elbert Bandau

Post A Comment:

0 comments so far,add yours